STRUKTUR CERPEN
Struktur cerita pendek secara umum dibentuk oleh (1)
bagian pengenalan cerita, (2) penanjakan menuju konflik, (3) puncak konflik, (4)
penurunan, dan (5) penyelesaian. Bagianbagian itu ada yang menyebutnya dengan
istilah abstrak, orientasi, komplikasi, evaluasi, resolusi, dan koda.
a. Abstrak
(sinopsis) merupakan bagian cerita yang menggambarkan keseluruhan isi
cerita.
b. Orientasi atau
pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan ataupun bibit-bibit
masalah yang dialaminya.
c. Komplikasi atau
puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah yang
dialami tokoh utama. Masalah itu tentu saja tidak dikehendaki oleh sang tokoh.
Bagian ini pula yang paling menegangkan dan rasa penasaran pembaca tentang cara
sang tokoh di dalam menyelesaikan masalahnya bisa terjawab. Dalam bagian ini,
sang tokoh menghadapi dan menyelesaikan masalah itu yang kemudian timbul
konsekuensi atau akibat-akibat tertentu yang meredakan masalah sebelumnya.
d. Evaluasi,
yakni bagian yang menyatakan komentar pengarang atas peristiwa puncak yang
telah diceritakannya. Komentar yang dimaksud dapat dinyatakan langsung oleh
pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu. Pada bagian ini alur ataupun
konflik cerita agak mengendur, tetapi pembaca tetap menunggu implikasi ataupun
konflik selanjutnya, sebagai akhir dari ceritanya.
e. Resolusi
merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita.
Bedanya, dengan komplikasi, pada bagian ini ketegangan sudah lebih mereda.
Dapat dikatakan pada bagian ini hanya terdapat masalah-masalah kecil yang
tersisa yang perlu mendapat penyelesaian, sebagai langkah “beres-beres”.
f. Koda
merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi cerita, mungkin juga diisi
dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh utama kemudian.
CONTOH ANALISIS STRUKTUR CERPEN
Tikus
dan Manusia
oleh
Jakob Sumardjo
Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami
tetap sebuah misteri. Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara
manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di
seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu
tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik
tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun.Tubuhnya cukup besar dan
bulunya hitam legam.
Pertama kali kami menyadari kehadiran penghuni rumah yang
tak diundang, dan tak kami ingini itu, ketika saya tengah menonton flm-video
The End of the Affair yang dibintangi Ralph Fiennes dan Julianne Moore, seorang
diri, sementara istri telah mendengkur kecapaian di kamar. Waktu tiba pada
adegan panas pasangan selingkuh Fiennes dan Julianne, tengah bugil di ranjang,
yang membuat saya menahan napas dan pupil mata melebar, tiba-tiba kaki saya
diterjang benda dingin yang meluncur ke arah televisi, dan saya lihat tikus
hitam besar itu berlari kencang bersembunyi di balik rak buku. Jantung saya
nyaris copot, darah naik ke kepala akibat terkejut, dan otomatis kedua kaki
saya angkat ke atas.
Baru kemudian muncul kemarahan dan dendam saya. Saya
mencari semacam tongkat di dapur, dan hanya saya temukan sapu ijuk. Sapu itu
saya balik memegangnya dan menuju ke arah balik rak buku.Tangan saya amat
kebelet memukul habis itu tikus. Namun, tak saya lihat wujud benda apa pun di
sana. Mungkin begejil item telah masuk rak bagian bawah di mana terdapat lubang
untuk memasukkan kabel-kabel pada televisi. Untuk memeriksanya, saya harus
mematikan televisi dulu yang ternyata masih menayangkan adegan panas pasangan
intelektual Inggris itu. Saya takut kalau tikus keparat itu menyerang saya
tiba-tiba. Imigran gelap rumah itu
saya biarkan selamat dahulu.
Saya tidak pernah menceritakan keberadaan tikus itu
kepada istri saya yang pembenci tikus, sampai pada suatu hari istri saya yang
justru memberitahukan kepada saya adanya tikus tersebut. Berita itu begitu
pentingnya melebihi kegawatan masuknya teroris di kampung kami.
“Pak, rumah kita kemasukan tikus lagi! Besar sekali!
Item!”
“Di mana Mamah lihat?”
“Di dapur, lari dari rak piring menuju belakang
kulkas!” Istri saya cemas luar biasa, menahan napas, sambil mengacung-acungkan
pisau dapur ke arah kulkas di dapur.
“Sudah satu tahun enggak ada tikus. Rumah sudah bersih.
Mengapa tikus masuk rumah kita? Tetangga jauh. Dari mana tikus itu?”
“Itu tikus kebun, Mah,” jawab saya santai sambil
mengembalikan buku Nietsche ke rak buku.
“Jangan santai-santai saja Pah, cepat lihat kolong
kulkas!”
Wah, situasi semakin gawat. Saya memenuhi perintah istri
saya dengan menyalakan senter ke bagian kolong kulkas. Tidak ada apa pun. Tikus
keparat! Ke mana dia menghilang?
Sejak itu istri saya amat ketat menjaga kebersihan. Semua
piring di rak dibungkus kain, juga tempat sendok. Tudung saji diberati dengan
ulekan agar tikus tidak bisa menerobos masuk untuk menggasak makanan sisa.
Gelas bekas saya minum nescafe‑cream malam hari harus ditutup rapat. Tempat
sampah ditutupi pengki penadah sampah sambil diberati batu. Strategi kami
adalah semua tempat makanan ditutup rapat-rapat sehingga tikus tak akan bisa
menerobos.
Istri saya memesan dibelikan lem tikus paling andal,
yakni merek Fox. Selembar kertas minyak tebal dilumuri lem tikus oleh istri
saya dan di tengah-tengah lumuran lem itu ditaruh ampela ayam bagian makan
malam saya. Jebakan lem tikus ditaruh di kaki kulkas. Pada malam itu, ketika
istri saya tengah asyik menonton sinetron “Cinta Kamila”, yang setiap malam
setengah sembilan selalu menangis itu, istri saya tiba-tiba berteriak memanggil
saya yang sedang mengulangi membaca Filsafat Nietsche di kamar kerja, bahwa si
tikus terperangkap.
Saya segera menutup buku dan lari ke dapur menyusul
istri. Benar, seekor tikus hitam sedang meronta-ronta melepaskan diri dari
kertas yang berlem itu.
“Mana pukul besi?!” saya panik mencari pukul besi yang
entah disimpan di mana di dapur itu.
“Jangan dipukul Pah!”
“Lalu bagaimana?” Saya menjawab mendongkol.
“Selimuti dengan kertas koran. Bungkus rapat-rapat.
Digulung supaya seluruh lem lengket ke badannya.”
“Lalu diapakan?” Saya semakin dongkol
“Buang di tempat sampah!”
“Aah, mana pukul besi?”Kedongkolan memuncak.
“Nanti darahnya ke mana-mana! Bungkus saja rapat-rapat!”
Saya mengalah. Ketika tikus itu akan saya tutupi kertas
koran, matanya kuyu penuh ketakutan memandang saya. Ah, persetan! Saya menekan
rasa belas kasihan saya. Tikus saya bungkus rapat-rapat, lalu saya buang di
tong sampah di depan rumah, sambil tak lupa memenuhi perintah istri saya agar
penutupnya diberati batu.
Siang harinya sepulang dari mengajar, istri saya
terbata-bata memberi tahu saya bahwa tikus itu lepas ketika Mang Maman tukang
sampah mau menuangkan sampah ke gerobaknya. Cerita Mang Maman, ada tikus
meloncat dari gerobak sampahnya dan lari ke kebun sebelah dengan terbungkus
kertas coklat. Cerita lepasnya tikus ini beberapa hari kemudian diperkuat oleh
Bi Nyai, pembantu kami, bahwa dia melihat tikus hitam yang belang-belang
kulitnya. Geram juga saya, dan diam-diam saya membeli dua jebakan tikus. Ketika
mau saya pasang malam harinya, istri saya keberatan.
“Darahnya ke mana-mana,” katanya.
“Ah, gampang, urusan saya. Kalau kena lantai, saya akan
pel pakai karbol,” jawabku.
Istri saya mengalah, dan rupanya merasa punya andil
bersalah juga. Coba kalau tikus itu dulu kupukul kepalanya, tentu beres.
Pada waktu subuh istri membangunkan saya.
“Tikusnya kena, Pah!”
Memang benar, seekor tikus hitam terjepit jebakan persis
pada lehernya. Darah tak banyak keluar. Ketika saya amati dari dekat, ternyata
bukan tikus yang kulitnya sudah belang-gundul.
“Ini bukan tikus yang lepas itu, Mah!”
“Masa?”Ia mendekat mengamati.
“Kalau begitu ada tikus lain.”
“Mungkin ini istrinya,” celetekku.
Ketika mau saya lepas dari jebakan, istri saya
melarangnya.
“Buang saja ke tempat sampah dengan jebakannya.”
Rasa tidak aman masih menggantung di rumah kami.Tikus
belang itu masih hidup. Dendam kami belum terbalas. Berhari-hari kemudian kami
memasang lagi lem tikus dengan bergantiganti umpan, seperti sate ayam, sate
kambing, ikan jambal kegemaran saya, sosis, namun tak pernah berhasil menangkap
si belang.
Bibi mengusulkan agar dikasih umpan ayam bakar. Saya
membeli sepotong ayam bakar di restoran padang yang paling ramai dikunjungi
orang. Sepotong kecil paha ayam itu dipasang istri saya di tengah lumuran lem
Fox, sisanya saya pakai lauk makan malam.
Gagasan Bi Nyai ternyata ampuh. Seekor tikus
menggeliat-geliat melepaskan diri dari karton tebal yang dilumuri lem.Tikus itu
benar-benar musuh istri saya, di beberapa bagian badannya sudah tidak berbulu.
Kasihan juga melihat sorot matanya yang memelas seolah minta ampun.
“Mah, cepat ambil pukul besinya.”
Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan
kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil
berteriak.
“Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu. Kepala
tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”
Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah
belajar bahwa tikus yang merontaronta itu bisa lepas lagi.
“Cepat sana. Cari koran!” bentakku jengkel.
“Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya
dongkol juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang
meronta-ronta semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa
lepas juga sekarang.
Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada
kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah.
Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur
ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia marah-marah
kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak mendengar lagi
sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai pada suatu pagi
istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bunyi bayi tikus! Inilah gejala
perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.
“Harus kita temukan sarangnya! Bayi-bayi tikus itu
kelaparan ditinggal kedua orangtuanya. Kalau mati bagaimana? Kalau mereka
hidup, rumah kita menjadi rumah tikus!” kata istri.
Lalu kami melakukan pencarian besar-besaran.
Bagian-bagian tersembunyi di rumah kami obrak-abrik, namun bayi-bayi tikus
tidak ketemu. Bayi-bayi itu juga tidak kedengaran tangisnya lagi. “Mungkin ada
di para-para. Tapi bagaimana naiknya?” kata saya.
“Nunggu Mang Maman kalau ambil sampah siang,” kata istri.
Ketika Mang Maman mau mengambil sampah di depan rumah, bibi minta kepadanya
untuk naik ke para-para mencari bayi-bayi tikus.
“Di sebelah mana, Bu?” tanya Mang Maman.
“Tadi hanya terdengar di dapur saja. Mungkin di atas
dapur ini atau dekat-dekat sekitar situ,” sahut istri saya.
Sekitar setengah jam kemudian Mang Mamang berteriak dari
para-para bahwa bayi-bayi tikus itu ditemukan. Mang Maman membawa bayi-bayi itu
di kedua genggaman tangannya sambil menuruni tangga.
“Ini Bu ada lima. Satu bayi telah mati, yang lain sudah
lemas. Lihat, napas mereka sudah tersengal-sengal.”
Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah
itu.
“Bunuh dan buang ke tempat sampah, Mang” kata istri saya.
“Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”
“Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.
“Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat
kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis.
“Obat kuat? Bagaimana memakannya?”
“Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap
lebih dulu.”
Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya
masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus
itu ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan
dilemparkan ke gerobak sampahnya.
Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia. Tikus
selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi
sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit
dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir.
Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan
terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yang baru.
ANALISIS
STRUKTUR CERPEN
a. Abstrak
(sinopsis) merupakan bagian cerita yang menggambarkan keseluruhan isi
cerita.
CONTOH:
Cerita ini mengisahkan seorang petani yang disibukkan
oleh permusuhannya dengan tikus-tikus. Energi dan otaknya dihabiskan untuk
menghabisi binatang menjijikkan itu hingga pada suatu hari ia harus dihadapkan
pada apa yang disebutnya sebagai perang Bratayuda
Keberadaan abstrak seperti itu dalam cerpen bersifat
opsional, mungkin ada dan mungkin bisa tidak muncul. Lebih-lebih kisah dalam
cerpen cenderung langsung pada peristiwa-peristiwa penting, tidak bertele-tele,
langsung terpusat pada konflik utamanya.
b. Orientasi atau
pengenalan cerita, baik itu berkenaan dengan penokohan ataupun bibit-bibit
masalah yang dialaminya.
CONTOH:
Entah bagaimana caranya tikus itu memasuki rumah kami
tetap sebuah misteri.Tikus berpikir secara tikus dan manusia berpikir secara
manusia, hanya manusia-tikus yang mampu membongkar misteri ini. Semua lubang di
seluruh rumah kami tutup rapat (sepanjang yang kami temukan), namun tikus itu
tetap masuk rumah. Rumah kami dikelilingi kebun kosong yang luas milik
tetangga. Kami menduga tikus itu adalah tikus kebun.Tubuhnya cukup besar dan
bulunya hitam legam.
Cuplikan tersebut mengenalkan masalah yang dialami tokoh,
yakni dengan banyaknya tikus di dalam rumah mereka.
c. Komplikasi atau
puncak konflik, yakni bagian cerpen yang menceritakan puncak masalah
yang dialami tokoh utama. Masalah itu tentu saja tidak
dikehendaki oleh sang tokoh. Bagian ini pula yang paling menegangkan dan rasa
penasaran pembaca tentang cara sang tokoh di dalam menyelesaikan masalahnya
bisa terjawab. Dalam bagian ini, sang tokoh menghadapi dan menyelesaikan
masalah itu yang kemudian timbul konsekuensi atau akibat-akibat tertentu yang
meredakan masalah sebelumnya.
CONTOH:
“Mah, cepat ambil pukul besinya.”
Istri saya mengambil pukul besi di dapur dan diberikan
kepada saya. Ketika mau saya hantam kepalanya, istri saya melarang sambil
berteriak.
“Tunggu dulu! Pukul besinya dibungkus koran dulu. Kepala
tikus juga dibungkus koran. Darahnya bisa enggak ke mana-mana!”
Begitu jengkelnya saya kepada istri yang tidak pernah
belajar bahwa tikus yang meronta-ronta itu bisa lepas lagi.
“Cepat sana. Cari koran!” bentakku jengkel.
“Kenapa sih marah-marah saja?” sahut istri saya dongkol
juga. Saya diam saja, tetapi cukup tegang mengawasi tikus yang meronta-ronta
semakin hebat itu. Kalau dulu berpengalaman lepas, tentu dia bisa lepas juga
sekarang.
Akhirnya tikus hitam itu saya hantam tiga kali pada
kepalanya. Bangkainya dibuang bibi di tempat sampah.
Cuplikan tersebut merupakan komplikasi karena pada bagian
itulah sang tokoh utama menyelesaikan permasalahannya, yakni dengan melakukan
gerakan tangkap tikus bersama-sama istrinya. Pada bagian itu pula timbul
ketegangan puncak antartokoh itu sendiri, termasuk implikasinya pada pembaca
yang turut terlibat emosi dan kepenasaran-kepenasarannya. Kemudian,
kepenasaran itu terjawab, yakni dengan terkalahkannya tikus-tikus pembawa
masalah mereka itu.
d. Evaluasi,
yakni bagian yang menyatakan komentar pengarang atas peristiwa puncak yang
telah diceritakannya. Komentar yang dimaksud dapat dinyatakan langsung oleh
pengarang atau diwakili oleh tokoh tertentu. Pada bagian ini alur ataupun
konflik cerita agak mengendur, tetapi pembaca tetap menunggu implikasi ataupun
konflik selanjutnya, sebagai akhir dari ceritanya.
CONTOH:
Beberapa hari setelah itu istri saya mulai kendur
ketegangannya. Kalau saya lupa menutup kopi nescafe, biasanya dia marah-marah
kalau bekas kopi susu itu dijilati tikus, tetapi sekarang tidak mendengar lagi
sewotnya. Begitulah kedamaian rumah kami mulai nampak, sampai pada suatu pagi
istri saya mendengar sayup-sayup cicit-cicit bunyi bayi tikus! Inilah gejala
perang baratayuda akan dimulai lagi di rumah kami.
Penggalan cerita di atas merupakan akibat atau implikasi
dari peristiwa puncak. Sang istri tokoh utama tidak tegang lagi dengan
ulah-ulah tikus itu, kedamaian di rumahnya pun mulai mereka rasakan walaupun
itu bukan yang terakhir karena masih ada masalah lain yang tersisa, yakni yang
disebut dengan perang Baratayuda, pencarian habis-habisan terhadap sisa-sisa
dan sarang-sarang tikus.
e. Resolusi
merupakan tahap penyelesaian akhir dari seluruh rangkaian cerita.
Bedanya, dengan komplikasi, pada bagian ini ketegangan sudah lebih mereda.
Dapat dikatakan pada bagian ini hanya terdapat masalah-masalah kecil yang
tersisa yang perlu mendapat penyelesaian, sebagai langkah “beres-beres”.
CONTOH:
Istri saya bergidik menyaksikan bayi-bayi tikus merah
itu.
“Bunuh dan buang ke tempat sampah, Mang” kata istri saya.
“Ah, jangan Bu, mau saya bawa pulang.”
“Mau memelihara tikus?” tanya istri saya heran.
“Ah ya tidak Bu. Bayi-bayi tikus ini dapat dijadikan obat
kuat,” jawab Mang Maman sambil meringis.
“Obat kuat? Bagaimana memakannya?”
“Ya ditelan begitu saja. Bisa juga dicelupkan ke kecap
lebih dulu.”
Setelah memberi upah sepuluh ribu rupiah, istri saya
masih terbengong-bengong menyaksikan Mang Maman memasukkan keempat bayi tikus itu
ke kedua kantong celananya, sedangkan yang seekor dijinjing dengan jari dan dilemparkan
ke gerobak sampahnya.
Cuplikan tersebut menceritakan penyelesaian masalah,
sebagai akhir dari konflik utama, tidak lagi ada ketegangan di dalamnya. Semua
masalah pun dianggap tuntas dengan dimasukkannya anak-anak tikus ke dalam
kantong celana Mang Maman dan sebagiannya lagi dibuang ke gerobak sampah dengan
entengnya.
f. Koda merupakan komentar akhir terhadap keseluruhan isi
cerita, mungkin juga diisi dengan kesimpulan tentang hal-hal yang dialami tokoh
utama kemudian.
CONTOH:
Tikus-tikus tak terpisahkan dari hidup manusia.Tikus
selalu mengikuti manusia dan memakan makanan manusia juga. Meskipun bagi
sementara orang, terutama perempuan, tikus-tikus amat menjijikkan, mereka sulit
dimusnahkan. Perang melawan tikus ini tidak akan pernah berakhir.
Saya masih menunggu, pada suatu hari istri saya akan
terdengar teriakannya lagi oleh penampakan tikus-tikus yang baru.*
Dalam cuplikan tersebut, penulisnya mengomentari bahwa
perang manusia melawan tikus tidak akan pernah berakhir. Tikus-tikus tetap akan
menguntit manusia selama makanannya itu tetap ada, tidak terkecuali pada
istrinya yang pada saat-saat tertentu akan merasa terancam lagi oleh penampakan
tikus-tikus baru lainnya.
Bagian-bagian cerita pendek itu merupakan bentuk struktur
umum. Artinya sangat mungkin keberadaan cerpen-cerpen lainnya tidak memiliki
struktur seperti itu. Hal ini terkait dengan kreativitas dan kebebasan yang
dimiliki oleh setiap penulis dalam berkarya.